Sabtu, 11 Mei 2019

KETUKAN PINTU DI BULAN RAMADHAN




ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴْﻢ


*KETUKAN PINTU DI BULAN RAMADHAN*

Saudaraku...
akan datang tamu mulia...
menghampiri detik detik kehidupanmu...
membawa serangkaian kabar gembira...

Pahala amal ibadah dilipatgandakan...
dosa-dosa diampuni...
pintu pintu Surga dibuka...
pintu-pintu Neraka ditutup...
syaitan pun dibelenggu...
penghuni Neraka dibebaskan...
ada satu malam dimana nilai ibadah pada malam itu melebihi nilai ibadah selama seribu bulan...

Ramadhan, itulah tamu mulia yang akan mengetuk pintu rumahmu...

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, Mu'alla bin al-Fadhl rahimahullah berkata :

كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللّٰهَ تَعَالَى سِتّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ رَمَضَانَ وَيَدٔعُوْنَهُ سِتَّةَ أَشٔهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَ مِنٔهُمْ

"Dahulu (para salaf) mereka berdoa selama 6 bulan agar mereka dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan berdoa setelahnya 6 bulan agar amal ibadah mereka diterima"
(Lathaa'iful Ma'aarif hal 148)

Diantara mereka seperti Yahya bin Abi Katsir rahimahullah yang berdoa :

اَللّٰهُمَّ سَلِّمْنِيْ إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِيْ رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِّيْ مُتَقَبَّلًا

"Ya Allah, sampaikanlah aku kepada bulan Ramadhan, dan sampaikanlah bulan Ramadhan kepadaku, dan terimalah amalku" (Lathaa'iful Ma'aarif hal 158)

Kenapa mereka berdoa seperti itu...?

Karena mereka tahu keutamaan, keistimewaan dan kelebihan Ramadhan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya...

Karena mereka sangat rindu dan ingin kembali merasakan kenikmatan, kelezatan dan manisnya beribadah selama Ramadhan...

Karena mereka ingin mendapatkan ampunan dari segala dosa-dosa, sebagaimana bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya...

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

َمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

"...Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dan beribadah (shalat tarawih) pada malam harinya karena iman dan mengharapkan ganjaran Allah Ta’ala, maka keluarlah ia dari segala dosa-dosanya sebagaimana bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya"
(HR. Ibnu Majah no.1328 dan Ahmad III/128, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah no.1101, hadits dari Abdurrahman bin 'Auf)

إذا دخَل رمضانُ فُتِّحَتْ أبوابُ الجنةِ وغُلِّقَتْ أبوابُ جهنَّمَ وسُلسِلَتِ الشياطينُ

"Apabila datang bulan Ramadhan, pintu Surga dibuka, pintu Jahannam ditutup dan syaitan pun dibelenggu"
(HR. Bukhari no. 3277, hadits dari Abu Hurairah)

Dibukanya pintu Surga bisa berarti bahwa Allah membuka pintu hati manusia untuk mudah melakukan berbagai ketaatan kepada-Nya...

Jiwa lebih condong kepada kebaikan dan senantiasa melakukan amal shalih yang dapat menggiringnya ke pintu Surga...

Ditutupnya pintu Neraka bisa berarti bahwa Allah memalingkan hati, mata dan telinga hamba-Nya dari hal-hal buruk yang dapat menghantarkannya ke Neraka...

Adapun dibelenggunya syaitan bisa berarti bahwa Allah melemahkan kekuatan syaitan untuk menggoda manusia. Ketika syahwat itu ditahan, maka syaitan-syaitan pun terbelenggu...

Yang malas beribadah, akan kembali sadar...

Yang semangat beribadah, akan terus bertambah...

Yang lalai berdzikir, akan semangat berdzikir...

Yang malas ke masjid, akan rajin ke masjid...

Ramadhan adalah kesempatan emas untuk memperbanyak doa ,karena ia saat yang mustajab dikabulkannya doa...

Tidak ada yang dapat mengetahui betapa agungnya hari-hari tersebut kecuali orang-orang yang telah kehilangan darinya, yaitu para penghuni kubur...

Seandainya Allah Ta'ala mentakdirkan bagi para penghuni kubur untuk dikeluarkan dari kuburnya, niscaya mereka akan berkata :

_*"JANGAN PERNAH ENGKAU SIA-SIAKAN SATU DETIK PUN DARI HARI-HARI DI BULAN RAMADHAN..."*_

Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita termasuk orang yang bertaqwa dan diterima amal shalihnya...

Aamiin...

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَه إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

*@cahayasunnah*

*KISAH MENAKJUBKAN DI MASA TABI’IN*





PAMAN, LIHATLAH, BIDADARI YANG PERNAH KUCERITAKAN PADAMU ADA DI DEKATKU... DIA MENUNGGU RUHKU KELUAR.

Hari itu, di salah satu sudutnya Masjid Nabawi berkumpullah Abu Qudamah dan para sahabatnya.
Di hati para sahabatnya,Abu Qudamah adalah orang yang sangat dikagumi. Itu karena Abu Qudamah adalah seorang Mujahid. Berjihad dari satu front ke medan-medan Jihad lainnya. 
Seolah hidup beliau, beliau persembahkan untuk Berjihad.Debu yang beterbangan, kilatan pedang, hempasan anak panah, derap kuda adalah hal yang sudah biasa bagi beliau. 
Pengalaman, tragedi, kisah dan momen pun telah banyak beliau saksikan di setiap gelanggang perjuangan Jihad.
”Abu Qudamah, ceritakanlah pada kami kisah paling mengagumkan di hari-hari Jihadmu,” tiba-tiba salah seorang sahabatnya meminta.
“Ya,” jawab Abu Qudamah.
"Beberapa tahun lalu. Aku singgah di kota Recca. Aku ingin membeli onta untuk membawa persenjataanku.
Saat aku sedang bersantai di penginapan, keheningan pecah oleh suara ketukan. Ku buka ternyata seorang perempuan.
”Engkaukah  Abu Qudamah?” tanyanya.
”Engkaukah yang mengajak Umat manusia untuk Berjihad?” pertanyaannya yang kedua.
“Sungguh, Allah telah menganugerahiku rambut yang tak dimiliki wanita lain. 
Kini aku telah memotongnya. Aku kepang agar bisa menjadi tali kekang kuda. Aku pun telah menutupinya dengan debu agar tak terlihat.
Aku berharap sekali agar engkau membawanya. Engkau gunakan saat menggempur musuh, saat jiwa kepahlawananmu merabung. Engkau gunakan bersamaan saat kau menghunus pedang, saat kau melepaskan anak panah dan saat tombak kau genggam erat.
Kalau pun engkau tak membutuhkan, ku mohon berikanlah pada mujahid yang lain. 
Aku berharap agar sebagian diriku ikut di Medan Perang, menyatu dengan debu-debu fii Sabilillah.
Aku adalah seorang  janda. Suamiku dan karib kerabatku, semuanya telah  Mati Syahid fii Sabilillah. 
Kalau pun Syariat mengizinkan aku berperang, aku akan memenuhi seruannya,” ungkapnya sembari menyerahkan kepangan rambutnya.
Aku hanya diam membisu. Mulutku kelu walau tuk mengucapkan “iya”.
*”Abu Qudamah, walaupun suamiku terbunuh, namun ia telah mendidik seorang pemuda hebat.*
*Tak ada yang lebih hebat darinya. Ia telah menghapal Al-Qur’an. Ia mahir berkuda dan memanah. Ia senantiasa Sholat Malam dan Berpuasa di siang hari. Kini ia berumur 15 tahun. Ialah Generasi Penerus suamiku.* 
Mungkin esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia. 
*Aku persembahkan dia untuk Allah.* 
Ku mohon jangan halangi aku dari PahalaNya,” kata-kata sendu terus mengalir dari bibirnya.
Adapun aku masih diam membisu. Memahami kalimat per kalimat darinya. 
Lalu tanpa sadar perhatianku tertuju pada kepangan rambutnya.
”Letakkanlah dalam barang bawaanmu agar Kalbuku tenang,” pintanya.Tahu aku memperhatikan kepangan rambutnya.
Aku pun segera meletakkannya bersama barang bawaanku. Seolah aku tersihir dengan kata-kata dan himmah (tekad) nya yang begitu mengharukan.
Keesokan harinya, aku bersama pasukan beranjak meninggalkan Recca. Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggang kuda yang memanggil-manggil.
“Paman Abu Qudamah!” serunya.
“Paman Abu Qudamah, tunggu sebentar, semoga Allah merahmatimu.”Kaki pun terhenti. Lalu aku berpesan kepada pasukan,
“Tetaplah di tempat hingga aku mengetahui orang ini.
”Dia mendekat dan memelukku.
”Alhamdulillah, Allah memberiku kesempatan menjadi pasukanmu. Sungguh Dia tidak ingin aku gagal,” ucapnya.
“Kawan, singkaplah kain penutup kepalamu dahulu,” pintaku.
Ia pun menyingkapnya. Ternyata wajahnya bak bulan purnama. Terpancar darinya cahaya ketaatan.
”Kawan, apakah engkau memiliki Abi?” tanyaku.
“Justru aku keluar bersamamu . Dia (insya Allah) telah mati Syahid. Semoga saja Allah menganugerahiku Syahid seperti Abi,” jawabnya.
“Lalu, bagaimana dengan Ummi? Mintalah restu darinya terlebih dahulu. 
Jika merestui, ayo berangkat. Jika tidak, layanilah beliau. Sungguh baktimu lebih utama dibandingkan jihad. Memang, Jannah di bawah bayangan pedang, namun juga dibawah telapak kaki ibu”

“Duhai Paman Abu Qudamah. Tidakkah engkau mengenaliku.”
“Tidak.”
“Aku putra pemilik titipan itu. Betapa cepatnya engkau melupakan  titipan Ummi, pemilik Kepangan Rambut itu”
*“Aku, insya Allah, adalah Seorang Syahid Putra Seorang Syahid. Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, jangan kau halangi aku ikut Berjihad fii Sabilillah bersamamu. Aku telah menyelesaikan Al-Qur’an. Aku juga telah mempelajari Sunnah Rasul. Aku pun lihai menunggang kuda dan memanah. Tak ada seorang pun lebih berani dariku. Maka, janganlah kau remehkan aku hanya karena aku masih belia.”*
"Ummi  telah  bersumpah agar aku tidak kembali. Beliau berpesan: 
*"Nak, jika kau telah melihat musuh, Jangan pernah kau lari. Persembahkanlah Ragamu untuk Allah.*
*Carilah kedudukan di sisi Allah. Jadilah tetangga Abimu dan paman-pamanmu yang Sholeh di Surga. Jika nantinya kau menjadi Syahid, jangan kau lupakan Ummi. Berilah Ummi Syafa’at. Aku pernah mendengar Fadhilah bahwa Seorang Syahid akan Memberi Syafaat untuk 70 orang keluarganya dan juga 70 orang tetangganya."*
Ummi pun memelukku dengan erat dan mendongakkan kepalanya ke langit.
*"Rabbku.... Inilah putraku, penyejuk jiwaku, buah hatiku..  Aku persembahkan ia untukMu. Dekatkanlah ia dengan ayahnya,”* terang sang pemuda. 
Kata-katanya terus mendobrak tanggul air mataku. 
Dan akhirnya aku benar-benar tak kuasa menahannya. Aku tersedu-sedu. Aku tak tega melihat Wajahnya yang masih muda & polos. Namun begitu tinggi tekadnya. Aku pun tak bisa membayangkan Kalbu Sang Ibu. Betapa sabarnya ia.
Melihatku menangis, sang pemuda bertanya, 
“Paman, apa gerangan tangisanmu ini...??? Jika sebabnya adalah usiaku, bukankah ada orang yang lebih muda dariku, namun Allah tetap mengadzabnya jika bermaksiat ...???”
“Bukan,” aku segera menyanggah.
“Bukan lantaran usiamu. Namun aku menangis karena Kalbu Ibumu. Bagaimana jadinya nanti jika engkau gugur?”
Akhirnya aku menerimanya sebagai bagian dari pasukan. Siang malam si pemuda tak pernah jemu Berdzikir kepada Allah Ta’ala. Saat pasukan bergerak, ia yang paling lincah mengendalikan kuda. 
Saat pasukan berhenti istirahat, ia yang paling Aktif Melayani pasukan. Semakin kita melangkah, tekadnya juga semakin membuncah, semangatnya semakin menjulang, kalbunya semakin lapang dan tanda-tanda kebahagiaan semakin terpancar darinya.
Kami terus berjalan menyusuri hamparan bumi nan luas. Hingga kami tiba di medan laga bersamaan dengan bersiap-siapnya matahari untuk terbenam. Sesampainya, sang pemuda memaksakan diri menyiapkan hidangan berbuka untuk pasukan.  Memang, hari itu kami berpuasa. 
Dan dikarenakan hal inilah juga khidmatnya kepada pasukan selama perjalanan, dia tertidur pulas. Pulas sekali hingga kami iba membangunkan. 
Akhirnya, kami sendiri yang menyiapkannya dan membiarkan si pemuda tidur. Saat tidur, tiba-tiba bibirnya mengembang menghiasi wajahnya.
”Lihatlah, ia tersenyum!” kataku pada teman keheranan.
Setelah bangun, aku bertanya padanya, “Kawan, saat tertidur kau tersenyum. Apa gerangan mimpimu?”
“Aku mimpi indah sekali. Membuatku bahagia,” jawabnya
”Ceritakanlah padaku!” pintaku penasaran.”
"Aku seperti di sebuah Taman Hijau nan permai. Indah sekali". 
Pemandangannya menarik kalbuku untuk berjalan-jalan. Saat asyik berjalan, tiba-tiba aku berdiri di depan istana Perak, Balkonnya dari Batu Permata dan mutiara serta pintu-pintunya dari Emas. 
Sayang, tirai-tirainya terjuntai, menghalangiku dari bagian dalam Istana. Namun tak lama, keluarlah Gadis-gadis menyingkap tirai-tirainya.
Sungguh Wajah mereka bagaikan rembulan. Kutatap wajah-wajah Cantik itu dengan  kekaguman,
*”Marhaban,”* kata salah seorang dari mereka Tahu ku memandanginya.
Aku pun tak tahan hendak menjulurkan tangan menyentuhnya. Belum sampai tangan ini menyentuh, dia berkata,
*“Ini belum waktunya.*Telingaku juga menangkap sebuah suara salah seorang mereka, 
*“Ini suami Al Mardhiyah.”*Mereka berkata kepadaku,
*”Kemarilah,Yarhamukalloh.”*
Baru saja kakiku hendak melangkah, ternyata mereka telah berdiri di depanku.Mereka membawaku ke atas dipan Istana.
yang bertahtakan Permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari Perak putih. 
Dan di atasnya. Seorang Gadis belia dengan Kecantikan Wajahnya bersinar .....
Kalaulah Allah tidak memantapkan kalbu dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena tak kuasa menatap kecantikannya.
*“Marhaban, ahlan wa sahlan, Sungguh engkau adalah milikku dan aku adalah milikmu”*katanya menyambutku,
Sang pemuda mengakhiri kisahnya. lalu aku berusaha membangkitkan himmahnya, 
“Kawan, mimpimu begitu indah. Engkau akan melihat kebaikan nantinya.” 
Kami pun bermalam dengan perasaan takjub dan kagum akan mimpi sang pemuda.
Esok hari, kami bersiap menghadapi kaum kafir. Barisan diluruskan, formasi dan strategi dimatangkan, senjata tergenggam kuat dan tali kekang kuda dipegang erat.
Semangat pun semakin berkobar saat mendengar Arahan, 
*“Wahai segenap Tentara Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian. Bergembiralah dengan Jannah. Majulah kalian, baik terasa ringan oleh kalian ataupun terasa berat.”*
Tak lama,pasukan kuffar tiba di hadapan kami. Banyak sekali, bagaikan belalang yang menyebar kemana-mana.Perang bergolak pun terjadi. Kesunyian pagi hari sontak terpecah oleh teriakan pasukan kuffar dan Gema Takbir Kaum Muslimin. 
Suara senjata yang saling beradu, berbaur dengan riuh rendah suara para prajurit yang sedang bertaruh nyawa.
Tiba-tiba aku mengkhawatirkan pemuda itu. Iya, dimana pemuda itu…
Dimana pemuda itu...?  Ku berusaha mencari di tengah medan laga. 
Ternyata dia di barisan depan pasukan muslimin. Dia merangsek maju, menyibak pasukan kuffar dan memporak porandakan barisan mereka.
Dia bertempur dengan hebatnya. Dia mampu melumpuhkan begitu banyak pasukan kuffar. Namun begitu, tetap saja hati ini tak tega melihatnya. Aku segera menyusulnya di depan.
“Kawan, kau masih terlalu muda. Kau tak tahu betapa liciknya pertempuran. Kembalilah ke belakang,” teriakku mencoba menyaingi suara riuh pertempuran, sambil menarik tali kekang kudanya.
“Paman, tidakkah kau membaca ayat: 
*"Wahai segenap Kaum Mukmin, jika kalian telah berperang dengan kaum kafir, maka janganlah kalian mundur ke belakang." (Al Anfal:15).* 
Sudikah engkau aku masuk neraka ?” serunya menimpali. 
Saat kucoba memahamkannya, serbuan pasukan kuffar memisahkan kami. Aku berusaha mengejarnya, namun sia-sia. Peperangan semakin bergejolak.
Dalam kancah pertempuran, terdengarlah derap kaki kuda diiringi gemerincing pedang dan hujan panah. Lalu mulailah kepala berjatuhan satu persatu. 
Bau anyir darah tercium dimana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan. Dan tubuh tak bernyawa tergeletak bersimbah darah.,perang itu telah menyibukkan tiap orang akan dirinya sendiri dan melalaikan orang lain. Sabetan dan kilatan pedang di atas kepala yang tak henti-hentinya, menjadikan suhu memuncak. Kedua pasukan bertempur habis-habisan.
Saat perang usai, aku segera mencari si pemuda. Terus mencari di medan laga. Aku khawatir dia termasuk yang terbunuh. 
Aku berkeliling mengendarai kuda di sekitar kumpulan korban. 
Mayat demi mayat, sungguh wajah mereka tak dapat dikenali, saking banyaknya darah bersimbah dan debu menutupi.
Dimana sang pemuda ? Aku terus melanjutkan pencarian. Dan tiba-tiba aku mendengar suara lirih, 
”Kaum muslimin, panggilkan pamanku,Abu Qudamah kemari!”
Itu suaranya, teriakku dalam kalbu. Kucari sumber suara, ternyata benar, si pemuda. Berada di tengah-tengah kuda bergelimpangan. Wajahnya bersimbah darah dan tertutup debu.  Hampir aku tak mengenalnya.
Aku segera mendatanginya. “Aku di sini! Aku di sini! Aku Abu Qudamah!” isakku tak kuasa menahan tangis. 
Aku sisingkan sebagian kainku dan mengusap darah yang menutupi wajah polosnya.
*”Paman, Aku telah meraih Mimpiku. Akulah Putra Ibu pemilik rambut kepang itu.*
*Kukecup keningnya dan kuhapus debu dan darah yang terkadang mengalir di wajahnya,”* 
Sungguh aku benar-benar tak kuasa dengan kejadian ini.
“Kawan, janganlah kau lupakan Pamanmu ini. Berilah dia Syafa’at nanti di Hari Kiamat.”
“Orang sepertimu takkan pernah kulupakan.””Jangan!” serunya lagi saat kucoba mengusap wajahnya.

“Jangan kau usap wajahku dengan kainmu. Kainku lebih berhak untuk itu. Biarkanlah darah ini mengalir hingga aku menemui Rabb-ku, paman."
*"Paman, lihatlah, Bidadari yang pernah kuceritakan semalam padamu ada di dekatku. Dia menunggu Ruhku keluar.*
 *"Paman, tolong bawalah bajuku yang berlumuran darah ini untuk Ummi. Serahkanlah padanya, agar beliau tahu aku tak pernah menyia-nyiakan Petuahnya.*
*Juga agar beliau tahu aku Bukanlah Pengecut melawan kaum kafir yang busuk itu. Sampaikanlah salam dariku dan katakan Hadiahmu telah Diterima Allah.*
 *Paman, saat berkunjung ke rumah nanti, kau akan bertemu adik perempuanku. Usianya sekitar sepuluh tahun. Jika aku datang, ia sangat gembira menyambutku. Dan jika aku pergi, ia paling tidak mau kutinggalkan."*
*"Saat kumeninggalkannya kali ini, ia mengharapkanku cepat kembali. “Kak, cepat pulang, ya.” Itulah kata-katanya yang masih terngiang di telingaku. Jika engkau bertemu dengannya, sampaikan salamku padanya dan katakan; "Allah-lah yang akan menggantikan Kakak sampai Hari Kiamat.”* 
kata-katanya terus membuat air mataku meleleh. 
Menetes dan terus menetes membuat aliran sungai di pipi.*”Asyhadu alla ilaaha illalloh, wahdahu laa syarikalah, sungguh benar janji-Nya. Wa Asyhadu anna Muhammadarraasulullah.* 
Inilah apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya dan Nyatalah apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya.”
*Itulah kata-kata terakhirnya sebelum Ruh berlepas dari jasadnya.*Lalu aku mengkafaninya dan menguburkannya.Aku harus segera ke Recca, tekadku.
Aku segera pergi ke Recca. Tak lain dan tak bukan tujuanku hanyalah Ibu si Pemuda.
Celakanya aku, aku belum mengetahui nama si Pemuda dan dimana rumahnya. Aku berkelililing ke seluruh kota Recca. Setiap sudut, gang dan jalan kutelusuri. dan akhirnya aku mendapatkan seorang gadis mungil.
Wajahnya bersinar mirip si Pemuda.Ia melihat-lihat setiap orang yang berlalu di depannya. 
Tiap kali melihat orang baru datang dari bepergian, ia bertanya, 
“Paman, anda datang darimana?”“Aku datang dari Jihad,” kata lelaki itu.
“Kalau begitu kakakku ada bersamamu?” tanyanya“Aku tak kenal, siapa kakakmu.” kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang kedua dan tanyanya, “Paman, anda datang dari mana?”“Aku datang dari Jihad,” jawabnya.
“Kakakku ada bersamamu?”, tanya gadis itu.“Aku tak kenal, siapa kakakmu.” jawabnya sambil berlalu.
Gadis itu pun tak bisa menahan rindu kepada sang kakak. Sambil terisak-isak, dia berkata,
*”Mengapa mereka semua kembali dan Kakakku tak kunjung kembali?”*
Aku iba kepadanya. Kucoba menghampiri tanpa membawa ekspresi kesedihan.“Adik kecil, bilang sama Ummi, Abu Qudamah datang.”
Mendengar suaraku, Sang Ibu keluar.
”Assalamu’alaikum,” salamku. 
”Wa’alaikum salam,” jawabnya.
*“Engkau ingin memberiku Kabar Gembira atau Berbela Sungkawa?” lanjutnya.
*“Maksud, ibu ?”*“Jika putraku datang dengan selamat, berarti engkau Berbela Sungkawa.*
*Jika dia Mati Syahid, berarti engkau kemari membawa Kabar Gembira,” terangnya.*
*”Bergembiralah. Allah telah menerima Hadiahmu.”*
Ia pun menangis terharu. “Benarkah?”
“Iya." jawabku.Benar-benar ia tak kuasa menahan tangisnya.
*”Alhamdulillah.Segala puji milik Allah yang telah menjadikannya tabunganku di Hari Kiamat,” pujinya kepada Dzat Yang Maha Kuasa.*
Para sahabat Abu Qudamah mendengarkan kisahnya dengan penuh kekaguman.
”Lalu gadis kecil itu bagaimana?” tanya salah seorang dari mereka.Dia mendekat kepadaku. Dan kukatakan padanya, 
*"Kakakmu menitipkan salam padamu dan berkata;
"Dik, Allah-lah yang menggantikanku sampai Hari Kiamat nanti”.
*Tiba-tiba dia menangis sekencang-kencangnya. Wajahnya pucat. Terus menangis hingga tak sadarkan diri. Dan setelah itu nyawanya tiada.
Sang ibu mendekapnya dan menahan sabar atas semua musibah yang menimpanya. Aku benar-benar terharu melihat kejadian ini. 
Aku serahkan padanya sekantong uang. Berharap bisa mengurangi bebannya. Sang ibu pun melepas kepergianku. 
Aku meninggalkan mereka dengan kalbu yang penuh kekaguman kepada Ketabahan Sang Ibu, Sifat Ksatria Sang Pemuda dan Cinta gadis kecil itu kepada kakaknya.

Ya Rohman Ya Rohiim Kabulkanlah seuntai Do’a kami. Memang terasa berat meniti Jalan Surga-Mu. Syahwat yang selalu menyambar, Syubhat yang terus menghantam, setan yang tak pernah menyerah dan nafsu jahat yang senantiasa memberontak. Sedangkan kalbu ini lemah, ya Rabb...Kalaulah bukan karena-Mu, tidaklah kami ini menjadi Muslim. Tidak pula mengerjakan Sholat, tidak pula Bersedekah. Teguhkanlah kaki kami di atas Jalan-Mu ini !
Oleh Al-Akh Yahya Al-WindanyDiterjemahkan dengan beberapa editing tanpa merubah tujuan dan makna dari Kitab ‘Uluwwul Himmah indan Nisaa’, 212-217.

*CINTA MEMBUATNYA BERTAHAN*



*ﺑِﺴْﻢِاللّٰهﺍﻟﺮَّﺣْﻤٰﻦِﺍﻟﺮَّﺣِﻴْﻢ*

*CINTA MEMBUATNYA BERTAHAN*

Muhammad bin Isma'il, seorang ulama yang sangat terkenal dengan nama *Imam Bukhari.*

Tidak terhitung fitnah dan cela yang beliau rasa layaknya setiap tokoh yang pasti memiliki lawan. 

Namun yang membuat sosok ini berbeda adalah beliau tidak membalas atau setidaknya mengangkat tangan lalu berdoa agar Allah membalas mereka.

Hal ini menggugah rasa penasaran banyak orang dan pada akhirnya terlemparlah sebuah pertanyaan:

*"Mengapa engkau tidak pernah mendoakan keburukan terhadap orang-orang yang telah menzhalimi, menyakiti dan memfitnah dirimu ?"*

Beliau menjawab:
Karena Nabi shallallahu 'alaihi 
wa sallam bersabda: 
*"Bersabarlah sehingga kalian dapat berjumpa denganku di telaga (pada hari kiamat)."* 
[HR. Bukhari]

*Ternyata, ..........*
Cinta dan rindu untuk bertemu dengan Nabi, yang *membuat beliau bertahan dan bersabar*.

Saudaraku,.......
"Sudahkah kerinduan untuk bertemu dengan Rasulullah 
shallallahu 'alaihi wa sallam 
membuat anda bertahan dan bersabar di tengah badai kehidupan ?...."

Reposted by
*@cahayasunnah*
Referensi:
Siyar A'lamin Nubalaa' 12/461 dengan sedikit perubahan kata.

*بَارَكَ اللّٰه فِيْكُمْ*

*KISAH MENGHARUKAN DARI TANAH ARAB*



*KISAH MENGHARUKAN DARI TANAH ARAB*


Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … Ditengah gemuruhnya kota, ternyata Riyadh menyimpan banyak kisah. Kota ini menyimpan rahasia yang hanya diperdengarkan kepada telinga dan hati yang mendengar. Tentu saja, Hidayah adalah kehendak NYA dan Hidayah hanya akan diberikan kepada mereka yang mencarinya.

Ada sebuah energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa hari yang lalu dari sahabat Saya mengenal banyak dari mereka, ada beberapa dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari Mesir dan Saudi Arabia sendiri. Ada beberapa juga dari suku Arab yang tinggal dibenua Afrika. Salah satunya adalah teman dari Negara Sudan, Afrika.

Saya mengenalnya dengan nama Ammar Mustafa, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga kerja di Hotel ini.

Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya berkerja.

Biasanya saya melihatnya bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek bangunan di tengah terik matahari kota Riyadh yang sampai saat ini belum bisa ramah dikulit saya.

Hari itu Ammar tidak terlihat. Karena penasaran, saya coba tanyakan kepada Iqbal tentang kabarnya.

“Oh kamu tidak tahu?” Jawabnya balik bertanya, memakai bahasa Ingris khas India yang bercampur dengan logat urdhu yang pekat.

“Iyah beberapa minggu ini dia gak terlihat di Mushola ya?” Jawab saya.

Selepas itu, tanpa saya duga iqbal bercerita panjang lebar tentang Ammar. Dia menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang jauh. Seperti ingin memanggil kembali sosok teman sekamarnya itu.

Saya mendengarkan dengan seksama.

Ternyata Amar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2004 lalu.

Ia datang ke Negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di Kota ini. Saudi arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab lainnya termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal punya Pasport dan tiket.

Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat.

Do’a Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini demi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal di apartemen teman temannya.

Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan.

Ia tetap mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan.

Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat…

Bulan ketiga hingga tahun tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir..

Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup berpindah pindah di Kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan suasana Kota yang garang.

Tapi amar tetap bertahan dalam kesabaran.

Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik. Di hutan kita masih bisa menemukan buah buah, tapi di kota? Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing.

Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia. Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. Dihampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Disini hanya terlihat kurma kurma yang berbuah satu kali dalam setahun..

Amar seperti terjerat di belantara Kota ini. Pulang ke suddan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan. Itu tekadnya.

Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya. Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan haus untuk raganya disini.

Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan dahaga dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk keluarganya di Sudan.

Tapi Ammar pun Manusia. Ditahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman temannya yang ia kenal, sudah lima tahun ia berpindah pindah kerja dan numpang di teman temannya tapi kehidupannya tidak kunjung berubah.

Ia memutuskan untuk pulang ke Sudan. Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya.

Saat itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulang. Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik amar memahaminya ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu tiket penerbangan ke Sudan.

Hari itu juga Ammar berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan di sana saja.

Ia pergi ke sebuah Agen di jalan Olaya- Riyadh, utuk menukar uangnya dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini susah didapat karena konflik di Libya, Negara tetangganya. Tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja.

Akhirnya ia beli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya.

Ia memesan dari saat itu supaya bisa lebih murah. Tiket sudah ditangan, dan jadwal terbang masih minggu depan.

Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya. Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan kebiasaan itu.

Adzan dzuhur bergema ..
Semua Toko Toko, Supermarket, Bank, dan Kantor Pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security Kota berjaga jaga di luar kantor kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah selesai.

Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh.

Ia mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu.. memabasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air.

Lalu ia masuk mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.

Hanya disetiap shalat itulah dia merasakan kesejukan, Ia merasakan terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan ditiap menit yang ia lalui.

Shalat telah selesai. Ammar masih bingung untuk memulai langkah. Penerbangan masih seminggu lagi.

Ia diam.

Dilihatnya beberapa mushaf al Qur’an yang tersimpan rapi di pilar pilar mesjid yang kokoh itu. Ia mengmbil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan terus membaca al Qur’an hingga adzan Ashar tiba menyapanya.

Selepas Maghrib ia masih disana. Beberapa hari berikutnya, Ia memutuskan untuk tinggal disana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba.

Ammar memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya.

Seperti pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu. Ammar mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa Kota.

Adzannya memang khas. Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince (Putra Raja Saudi) di kota itu juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana.

Adzan itu ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh.

Hingga jadwal penerbanganpun tiba. Ditiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya.

Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat Kota.

Amar sudah duduk diruang tunggu dibandara, Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, kecemasan mulai meliputinya. Ia harus pulang kenegerinya tanpa uang sedikitpun, padahal lima tahun ini tidak sebentar, ia sudah berusaha semaksimal mungkin.

Tapi inilah kehidupan, ia memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan. Ia tidak pernah ingin mencemari kedekatannya dengan Penggenggam Alam semesta ini dengan mengeluh. Ia tetap berjalan tertatih memenuhi kewajiban kewajibannya, sebagai Hamba Allah, sebagai Imam
dalam keluarga dan ayah buat anak anaknya.

Diantara lamunan kecemasannya, ia dikejutkan oleh suara yang memanggil manggil namanya.
Suara itu datang dari speaker dibandara tersebut, rasa kagetnya belum hilang Ammar dikejutkan lagi oleh sekelompok berbadan tegap yang menghampirinya.

Mereka membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata “Prince memanggilmu”.

Ammarpun semakin kaget jika ia ternyata mau dihadapkan dengan Prince. Prince adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu Prince. Prince dan Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan diseluruh jazirah Arab ini. Mereka memilii Palace atau Istana masing masing.

Keheranan dan ketakutan Ammar baru sirna ketika ia sampai di Mesjid tempat ia menginap seminggu terakhir itu, disana pengelola masjid itu menceritakan bahwa Prince merasa kehilangan dengan Adzan fajar yang biasa ia lantunkan.

Setiap kali Ammar adzan prince selalu bangun dan merasa terpanggil ..
Hingga ketika adzan itu tidak terdengar, Prince merasa kehilangan. Saat mengetahui bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang kenegerinya. Prince langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan dan segera menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang untuk kembali ke Negerinya.

Singkat cerita, Ammar sudah berhadapan dengan Prince.

Prince menyambut Ammar dirumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang alasan kenapa ia tergesa pulang ke Sudan.
Amarpun menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di Kota Riyadh ini dan tidak mendapatkan kesempatan kerja yang tetap serta gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya.

Prince mengangguk nganguk dan bertanya: “Berapakah gajimu dalam satu bulan?”

Ammar kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan berbulan bulan tanpa gaji dinegeri ini.

Prince memakluminya. Beliau bertanya lagi: “Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu dapati?”

Dahi Ammar berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima tahun kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu: “Hanya SR 1.400″, jawab Ammar.

Prince langsung memerintahkan sekretarisnya untuk menghitung uang. 1.400 Real itu dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (84 Ribu Real = Rp. 184. 800.000). Saat itu juga bendahara Prince menghitung uang dan menyerahkannya kepada Amar.

Tubuh Ammar bergetar melihat keajaiban dihadapannya.

Belum selesai bibirnya mengucapkan Al Hamdalah,

Prince baik itu menghampiri dan memeluknya seraya berkata:

“Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan. Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3 bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh. Jadilah Bilall dimasjidku.. dan hiduplah bersama kami di Palace ini”

Ammar tidak tahan lagi menahan air matanya. Ia tidak terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin. Ammar menangis karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh sungguh memperhatikannya selama ini, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.

Ammar tidak usah lagi membayangkan hantaman sinar matahari disiang hari yang mengigit kulitnya. Ammar tidak usah lagi memikirkan kiriman tiap bulan untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada atau tidak.

Semua berubah dalam sekejap!

Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ammar.

Tapi masa yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah.

Nothing Imposible for Allah,

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah..

Bumi inipun Milik Allah, ..

Alam semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam Kekuasaan Nya.

Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan.

Ini adalah cerita nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini, saat ini Ammar hidup cukup dengan sebuah rumah di dalam Palace milik Prince. Ia dianugerahi oleh Allah di Dunia ini hidup yang baik, ia menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.

Subhanallah…

Seperti itulah buah dari kesabaran.

“Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya.

Jika kamu mulai berka
ta sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan Nya”.

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (Al Fushilat 35)
Allahuakbar!

Maha Benar Allah dengan segala Firman Nya …
Wallahua’lam bish Shawwab ….

Barakallahufikum ….

Copas dari WA

… Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci …

~ o ~